Satu Memori yang Membuatku Diam Seribu Bahasa

Mohon Tuhan, beri aku kekuatan.

12 Juni 2010.

Akhirnya kemarin kakak memutuskan untuk pulang sementara ke Bandung, lantaran telah izin dari pekerjaan selama seminggu. Maksudnya hari senin nanti masuk, lalu segera mengurus cuti panjang untuk bisa pulang ke Palembang lagi. Tiket pesawat sudah dipesan, take off jam 11 bersama istri dan anaknya, sedangkan satu kakak ipar lagi pulang ke Jogja beserta satu anaknya, take off jam 11.15.

Pagi itu haru biru. Pukul 08.00 kakak sudah datang ke rumah sakit, sudah membawa semua koper, akan pamit ke Mama. Nampak wajahnya berat meninggalkan Mama. Kata orang-orang dulu waktu masih kecil, kakak saya itu anaknya bandel dan suka merajuk. Kakak, istri dan anaknya masuk ke ICU, ruangan yang berisi lima ranjang untuk orang ‘sekarat’ khusus jantung. Kondisinya melemah, hari jumat pagi kemarin dipasang selang untuk memasukkan cairan makanan, karena dua hari tidak sadar dan tidak makan. Sungkup selang oksigen, selang makanan, dan peralatan deteksi jantung, nafas, oksigenisasi, tertempel di tubuh lemahnya.

Saya menciumi pipi dan punggung tangan pemuda berusia kepala tiga itu dengan syahdu dan terpaksa merelakannya pulang, serasa ingin berkata, “Jangan pulang dulu, Mama mungkin tak lama lagi.. jangan biarkan aku sendiri”. Kalimat itu hanya sebatas hati, dan air mataku meleleh. “Hati-hati ya, segera pulang lagi!”, pesanku. Mata kami memerah dan pipi basah, perawat yang ada di sana melihat kami, sudah pasti tahu betul bagaimana perkembangan kondisi Mama.

Tinggal aku dan Abah. Aku duduk di sampingnya dan membaca ayat favorit untuk memotivasi kekuatanku, surah Al Mulk. Ayat (1) yang artinya, “Maha Suci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Ayat (2), “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.”. dst..

Kira-kira jam 9 lewat kami kedatangan Bibi dari sebelah Abah, beserta suaminya. Beliau bilang, “Semalam aku mimpi Mamamu, jadi hari ini harus bisa menengok walau kakiku sakit,” kisahnya. Aku terharu. Dokter Rizky dating ke ruangan. Kak Eki panggilan akrab kami pada beliau. Ceritanya dulu, waktu SMP Kak Eki ini juga sering main dan menginap di rumah, karena beliau ini teman kakak pertamaku. Senin lalu kak Eki cerita kalau semalamnya ia bermimpi juga ketemu Mama dalam kondisi segar dan sehat sambil menepuk keras bahu kak Eki dan berkata, “Ey Ki, makasih  ye!” dan tersenyum. Lalu kak Eki terbangun tengah malam itu. Segera ia telpon perawat yang jaga, untuk melihatkan kondisi Mama. Senin itu adalah hari terakhir kami komunikasi dua arah yang masih saling ngobrol lancar.

Tekanan darah masih dalam batas normal, tapi sesekali indikator saturasi oksigen berbunyi, menandakan saturasi oksigen dalam darah menurun dengan kadar di bawah normal, angkanya bisa terlihat di monitor.

Pukul 09.15 Kak Eki datang, dan memeriksa kondisi Mama, sambil diam dan menatap lekat beliau. Lalu Kak Eki bilang, “Jangan tinggalin Mama sendirian lagi di sini, terus aja ngaji di sini, sambil zikir. Kau liat kan itu angka saturasi oksigennya (sambil menunjuk monitor), kalau angkanya terus menurun ke angka 70, kamu di sini saja, langsunglah bimbing Mama buat syahadat dan baca kalimat tauhid.” Aku mengangguk pasrah, dan sekujur badanku dingin.

Beberapa hari yang lalu, saya pernah searching tentang bagaimana sakratul maut itu. Banyak berbagai versi, saya lupa mengutip hadisnya. Namun yang paling saya ingat bahwa sakratul maut itu ada beberapa bagian, entah dicabut ruhnya secara perlahan atau cepat. Mula-mula malaikat mencabut ruh dari kaki hingga lutut, kemudian dari lutut hingga pinggang, lalu dari pinggang hingga dada, kemudian dari dada sampai kepala hingga habis seluruhnya dicabut. Subhanallah, tidak pernah terbayang sekalipun alangkah sakit dan ngilunya sakratul maut itu.

Tidak lama kemudian, Kak Eki meninggalkan ruangan karena akan memeriksa pasien lainnya. Dan kemudian, apa yang dideskripsikan kak Eki tadi betul-betul terjadi. Saturasi oksigennya mulai menurun. Ku panggil-panggil Mama di telinganya, aku bisikkan agar tetap menyebut laa ilaahaillallah, dan aku bacakan di telinganya. Baru sekali saja ku baca tenggorokanku tercekat oleh air mata. Ku coba kuasai diri, dan terus membacakan kalimat tauhid itu. Perawat yang datang menyuntikkan sesuatu di selang infus. Saturasi oksigen terus menurun ke angka 60. Perawat segera mengganti sungkup oksigen mama dengan sungkup pompa, dan segera melakukan resusitasi jantung dan paru/ RJP (force pada dada dan mengalirkan oksigen lewat saluran pernapasan, kira-kira seperti pertolongan pertama pada orang yang tenggelam yang sering terlihat sehari-hari). Lalu seorang ibu dokter residen datang dan berdiri di sebelah saya, sambil terus memantau hasi RJP itu. Sementara aku di sebelah telinga mama, makin lama suaraku makin kuat. Sampai akhirnya indikator oksigen turun sampai angka nol, dan suara tiiiiittt panjang bunyi dari layar monitor. Innalillahi wa innailaihi roji’un… Ku ciumi pipi Mama, tak kuasa air mataku buyar, aku dipeluk dokter residen, aku bingung harus memeluk siapa. Ku lihat Abah yang masih berdiri terdiam di dekat ujung ranjang. Lalu ku peluk tubuh tuanya dan bilang, “Mama sudah meninggal”, dan ku dudukkan beliau di kursi agar bisa tenang. Ku biarkan saja perawat-perawat yang kebetulan teman saya itu mengurus Mama, melepas segala macam peralatan yang menempel di tubuhnya, menggantikan kain, mencabut infus dan selang makanan, sementara ku raih handphone dan mulai menelpon ke rumah, menelpon ayuk ipar, menelpon bibi, dan baru teringat untuk menelpon kakak yang sedang di perjalanan ke bandara. Tiket sudah dicheck in, tapi kebetulan belum masuk ke ruang tunggu, masih duduk-duduk di luar, segera saja mengambil bagasi dan balik ke rumah sakit lagi. Sedangkan Cek Da (adik Mama paling bungsu) juga ku telpon, beliau sentak menangis, sedang berada di perjalanan hendak menjenguk ke RS. Sesampainya di RS, Cek Da memelukku sambil menangis-nangis, beliau bilang, “Dulu, waktu Cek Da masih kecil, Mamamu inilah yang ngasuh Cek Da, sekarang Mamamu sakit Cek Da dak sempat ngasuhnya, Mamamu meninggal Cek Da dak sempat pulo nemuinyo“. Aku cuma bisa menepuk-nepuk pundaknya yang besar.

Begitu banyak orang, adik, sanak, tetangga, yang mimpi bertemu dengan Mama sebelum Mama meninggal. Kak Iwan misalnya, keponakan Mama yang tinggal di Pangkalpinang, seminggu sebelumnya bermimpi ketemu Mama. Esok harinya ia berbicara kepada ibunya (Cek Ma, adik Mama) yang akan menemani istrinya melahirkan. Katanya begini, “Bu, habis Rina melahirkan besok, aku belikan ibu tiket pulang ke Palembang, semalam aku bermimpi tentang Wak Cak (Mamaku), ibu pulanglah gakpapa”. Dan hari Selasa Cek Ma langsung pulang ke Palembang. Hari Selasa siang itu Mama akan dihemodialisa plus transfusi darah, setelah itu kesadarannya perlahan kelihatan menurun.

Ternyata beliau meninggalkan kesan yang sangat membekas di hati adik, keponakan, sanak, tetangga, dan teman sejawatnya. Banyak teman-teman pengajian Mama yang hadir takziah hari itu memenuhi rumah dan halaman. Kata Cek Nur tetanggaku yang seperjuangan dengan Mama, teman-temannya yang sangat dikenal semuanya datang. Apakah aku bisa melakukan hal yang sama seperti Mama, meninggalkan kesan yang baik dan bermanfaat untuk orang-orang, dan apakah ketika hari kematianku nanti juga akan banyak pelayat yang datang dan mendokan seperti halnya Mama?

Satu memori yang membuatku diam seribu bahasa, mengingat saat-saat perpisahan dengan Mama, dan membayangkan bagimana jika nyawaku yang dicabut kelak.

Kullu nafsin dzaa iqatul maut…. –Setiap yang bernyawa akan merasakan mati….-” (QS. Ali Imran [3]: 185)

Wallahu’alam bishshowab.

Selamat jalan Mama,

semoga Allah mempertemukan kita di akhirat kelak dalam keadaan penuh suka cita.

Sabtu, 12 Juni 2010; 29 Jumadilakhir 1431 H

Kisah yang baru sanggup aku bagi sekarang, untuk pengingat bagi yang hidup

—–

4 thoughts on “Satu Memori yang Membuatku Diam Seribu Bahasa

Leave a comment