Saat Tidak Dianggap Saudara

Perlahan saya deru gas motor di sela-sela sempitnya jalanan kota Palembang yang memadat menjelang petang di bulan Ramadhan. Panas gas buang kendaraan, panas matahari, dan panas aspal. Tameng muka saya sekarang tidak pernah kelupaan, walau hanya terbuat dari selembar kain batik hasil dari ikutan ritual masangin di Jogja tempo dulu.

Panasnya kondisi jalanan, dan langesnya perasaan kian membuat saya makin melankolik saja. Sahabat yang dulu, kini sudah tidak menghiraukan lagi keberadaan saya, dengan segala alasan. Kehilangan dirinya yang berarti membuat saya buta dunia. Betul saja, lebih mudah mencari musuh daripada mencari teman. Sekarang saya harus berjuang sendiri, tidak ada lagi sahabat-sahabat, friendship is bull*hit, kata orang. Dunia dan seisinya adalah tidak kekal. Saya tidak boleh kecewa, persahabatan pun tidak kekal. Harus bersiap diri menerima perubahan apapun.

*cucol jam dua belas malam*

4 thoughts on “Saat Tidak Dianggap Saudara

Leave a reply to Au' Cancel reply